Inilah Kesalahan Besar Pak Tjiptadinata
Sepandai-pandai emak sembunyikan durian di bawah kasur, pada akhirnya diketahui . Apa sendawa Poltak setelah makan jengkol berulat akan semerbak mewangi karena hanya ia berkumur gunakan cairan pengharum baju? Durian itu, meskipun telah diendapkan di lambung, tetap diketahui dari berbau nafas.
Pengandaian itu berlaku juga untuk Kompasianer yang sangat disayang Admin K, Pak Tjiptadinata. Memberi komentar artikel terbaru, "Satu Penghargaan Tidak Ternilai" (K.9/8/20), saya katakan tidak dapat mendapatkan terburukan Pak Tjip untuk dibuat bahan artikel. Kata Pak Tjip, ia telah sembunyikan semua kejelekannya dibalik almari hingga bekas pacarnya juga tidak paham.
Ya, itu satu kelitan indah dari Pak Tjip. Aneh saja jika seorang isteri semakin tertarik pada dinding dibalik almari daripada perhiasan didalamnya. Lagi juga, mengenai Pak Tjip, bekas pacar tunggalnya sempat berkata, "Saya cuma lihat satu matahari pada diri Pak Tjip, bukan 99 bintang hitam." Ah, so sweet, Bu Lina.
Tetapi demikianlah. Sepandai-pandai emak sembunyikan durian, sepandai-pandai Pak Tjip tutupi terburukan, satu kekeliruan pada akhirnya akan nampak bila dibukakan sendiri. Itu yang dilaksanakan dengan cara jujur oleh Pak Tjip pada artikel "Seram Kehidupan (Pengalaman Pribadi)" (K. 8/8/20), satu diantara lima artikelnya yang diedarkan dalam satu hari. Hebatnya, 20 % dari artikel itu jadi "Artikel Penting".
Artikel "Seram Kehidupan" itu bercerita mengenai momen paha Pak Tjip, pemuda pemburu tupai, terpantek pagar bambu di Lubuk Alung Sumatera Barat tempo dahulu. Pak Tjip, menurut pengakuannya, over-confidence memanjat pohon lalu melonjak ke seberang pagar bambu di bawahnya untuk ambil seekor tupai yang tertembak lalu jatuh di kebun masyarakat. Sepandai-pandai tupai melonjak, satu waktu jatuh jika terkena shooting Pak Tjip.
Begitu juga dengan Pak Tjip, sepandai-pandainya melonjak satu waktu nyangsang di atas pagar bambu runcing. Itu yang berlangsung. Pak Tjip melonjak tetapi celananya nyangkut di puncak pagar bambu. Mengakibatkan seram. Ujung sepotong puncak pagar bambu menancap di paha atas Pak Tjip. Demikian kronis hingga jalan keluarnya harus ke rumah sakit. Nampaknya itu ialah lompatan terjelek di era ini.
Kata Pak Tjip, seram terpantek pagar bambu itu berlangsung karena ia over-confidence. Tetapi itu terdengar semakin untuk alasan supaya berkesan heroik di muka bekas pacar. Bukti sebenarnya, dalam masalah tragedi tertusuk bambu itu Pak Tjip sudah lakukan tiga kekeliruan besar dalam riwayat hidupnya. Saya akan perlihatkan dengan cara jujur di sini.
Pertama, Pak Tjip sebenarnya tidak sempat melompati pagar. Jika naik dahulu ke atas pohon, baru selanjutnya melonjak, itu namanya terjun dari atas ke bawah. Bukan melonjak melalui pagar. Sebab Pak Tjip terjun, ya logis jika ia selanjutnya datang di atas pagar bambu, bukan di sampingnya. Sebetulnya semakin pas disebutkan, Pak Tjip jatuh tanpa ada kendali dari atas pohon.
Ke-2, Pak Tjip gunakan celana yang membuat terlibat di puncak pagar. Kalau tidak gunakan celana, Pak Tjip tentulah tidak nyangsang di pagar. Misalnya saat itu Pak Tjip gunakan sarung, kemungkinan ia akan pilih naik ke pembaringan daripada memburu tupai. Dengan begitu masyarakat Lubuk Alung tidak perlu lihat seorang anak muda yang baik hati nyangkut di pagar untuk seekor tupai mati.
Ke-3, tiap rumah ada pintunya, tiap pagar ada gerbangnya. Tiap orang, seandainya meminta izin, dapat lewat aman ke seberang pagar melalui gerbangnya, tanpa atau dengan celana. Tetapi pemuda pemburu tupai ternyata semakin pilih langkah melonjak dari atas pohon, untuk menunjukkan tidak cuma tupai yang dapat melonjak.
Sekali dayung tiga pulau terlampaui, sekali lompat Pak Tjip buat tiga kekeliruan besar sekaligus juga. Sebab kekeliruan ialah hal jelek, karena itu resmi telah, saya sudah mendapatkan hal jelek dalam riwayat hidup Pak Tjip. Tidakkah itu satu prestasi? Ibaratnya saya sukses mendapatkan sebutir pasir putih dalam sekarung gula pasir.